RiderTua.com – Ketika konflik panas terjadi antara Valentino Rossi dan Marc Marquez pada 2015, Livio Suppo menyaksikannya secara langsung karena saat itu dia masih menjabat sebagai manajer tim Repsol Honda.
“Tidak masalah apa yang dikatakan telemetri. Yang penting adalah 10 tahun sudah berlalu. Bahkan hingga hari ini, mereka yang dulu menganggap Marc bersalah masih menganggap Marc bersalah, dan mereka yang dulu percaya Vale bersalah masih percaya Vale bersalah,” ujar Suppo.
Livio Suppo: Berhadapan dengan Valentino Rossi Seperti Berhadapan dengan Paus
Livio Suppo menambahkan, “Itu adalah bentrokan antara dua ‘pejantan alfa’, dua singa yang satu tua dan yang satu masih muda. Dan memang itulah yang terjadi. Oleh karenanya, itu adalah babak yang tidak menyenangkan dalam sejarah balap motor secara umum. Karena bagaimanapun juga, MotoGP selalu menjadi olahraga yang penuh dengan rasa hormat, bahkan dari para penggemar terhadap para pembalap, meskipun mereka adalah rival.”

Suppo juga mengkritik reaksi beberapa penggemar. “Tahun itu, para penggemar yang mendukung Valentino Rossi, menurut saya benar-benar berlebihan kepada Marquez. Tapi yah begitulah hidup di dunia media sosial, di mana semuanya menjadi lebih mudah. Lebih mudah untuk bersembunyi di balik nama samaran dan keyboard untuk mengirimkan ancaman pembunuhan kepada orang lain, dan sayangnya itulah yang harus kita hadapi,” imbuh mantan manajer Enea Bastianini itu.
Lebih lanjut Suppo mengungkapkan, “Dalam film dokumenter, Marc akhirnya mengatakan, ‘saya bersalah karena telah membantu Valentino. Itu sesuai dengan apa yang saya katakan kepadanya sebelum masuk ke ruang Race Direction di Sepang. Saat itu saya mengatakan kepadanya, ‘Marc, sekarang semuanya ada di tanganmu’.”

“Kamu bisa mengatakan bahwa dia membuatmu terlihat buruk di konferensi pers, dan hari ini kamu ingin menunjukkan kepadanya bahwa kalau kamu marah, kamu benar-benar marah’. Karena kamu berhasil memenangkan balapan di Phillip Island, dan jika kamu ingin membuatnya kesal, kamu sudah melakukan hal itu disana. Atau kamu bisa bilang ‘tidak terjadi apa-apa’. Menurut saya, pilihan yang kedua yang lebih baik.”
“Bahkan di Valencia, Marc justru terus mengatakan, ‘saya sudah memberikan 100%, saya memberikan 100%’, karena tidak ada yang mempercayainya. Bertahun-tahun kemudian, akhirnya dalam film dokumenternya dia mengakuinya. Dan menurut saya sama seperti kesalahan komunikasi Vale, yang menyerang Marc karena sesuatu yang, sekali lagi, seperti apa yang ditunjukkan penulis sejarah Reggiani’,” jelas Suppo.
Namun para pembalap menunjukkan rasa hormat kepada Marquez. Suppo menjelaskan, “Dia berhasil menahan diri, yang sangat sulit bagi Marc. Dia melibas lap terakhir dengan luar biasa dan dia masih berhasil merebut 5 poin dari Jorge Lorenzo. Dan jika kita menonton kembali akhir balapan itu, Marc dan Vale sempat bertemu di lap saat mereka kembali ke garasi, Vale memberi isyarat kepadanya seolah-olah berkata, ‘lihat, kita sedikit bersenggolan, maaf’. Maksud saya, dia hampir meminta maaf. Jadi sampai saat itu, setelah melewati garis finis, mereka masih benar-benar bisa dibilang ‘normal’.”

“Tahun itu ada beberapa insiden seperti di Argentina dan Assen, dimana saya selalu mencoba untuk meredakan situasi. Saya selalu mencoba untuk menasihati Marc. Saya ingat, di Argentina saya mengatakan kepadanya, ‘Marc, Vale sudah balapan di Kejuaraan Dunia sejak 1996, oke? Saat itu kamu baru berusia 3 tahun, karena kamu lahir 1993. Ingat pengalaman yang dia miliki, sampai hari ini kamu selalu melakukan hal-hal yang juga dia lakukan, menang di setiap kelas. Melawan Valentino tidak akan menguntungkanmu’.”
“Karena bagaimanapun juga, melawan Valentino seperti melawan Paus (pemimpin umat Katholik). Tapi ingatlah, seorang manajer tim yang sudah lanjut usia mencoba untuk menasihatimu dan mereka ini adalah pembalap. Dan risikonya adalah, saya tidak menyalahkan Emilio Alzamora (mantan manajer Marc Marquez), tetapi baik dari pihak Vale atau Marc, ada orang-orang yang justru mendorong mereka ke arah yang salah,” pungkas Suppo.






