RiderTua.com – Davide Brivio pernah menjabat sebagai manajer tim Yamaha MotoGP selama sekitar 10 tahun yakni mulai 2001 hingga akhir 2010. Kemudian pria asal Italia itu menjadi manajer pribadi dari legenda Valentino Rossi sekaligus konsultan di tim VR46 Racing serta program pengembangan pembalapnya hingga 2013. Suzuki adalah pabrikan yang menjadi pelabuhan berikutnya dalam karirnya sebagai manajer tim MotoGP, sebelum pindah ke tim Alpine di Formula 1. Dan pada 2024 Brivio kembali ke MotoGP dan sekarang menjabat sebagai manajer tim Trackhouse Aprilia.
Jadi, bisa dibilang Brivio sudah ‘khatam’ atau tahu betul dengan metode dan cara kerja pabrikan Jepang. Saat ini dua pabrikan asal Jepang yang berkompetisi di MotoGP yakni Honda dan Yamaha sedang terpuruk dan ‘kalah’ saing dengan pabrikan Eropa. Namun dia yakin suatu saat nanti, pabrikan Jepang akan mampu mengejar ketertinggalan bahkan mungin bisa jadi akan kembali mendominasi seperti dulu.
Davide Brivio : Honda dan Yamaha Tidak Kehilangan Kemampuan Membangun Motor, Tinggal Tunggu Waktu
Beberapa tahun belakangan Honda dan Yamaha memperkuat tim teknisi mereka dengan mendatangkan insinyur asal Italia. Ketika Davide Brivio ditanya, apakah masa-masa di mana insinyur Jepang bisa sukses tanpa bantuan dari ‘orang luar’ sudah berakhir?

Brivio menjawab, “Secara pribadi, saya tidak melihatnya seperti itu. Tentu saja, saya tidak punya gambaran langsung tentang apa yang terjadi di Honda atau Yamaha. Mereka sedang mengalami kesulitan dan berusaha memperoleh ‘ilmu’ baru untuk belajar. Tapi saya tidak bisa membayangkan para insinyur Jepang ‘lupa’ cara membangun motor yang baik.”
“Honda bahkan mampu membangun pesawat terbang, mereka memiliki wind-tunnel/terowongan angin, dan banyak insinyur. Mungkin masalahnya ada pada organisasi dan struktur. Ironisnya, Jepang membutuhkan bantuan dari Italia untuk mengorganisir diri mereka dengan lebih baik. Terdengar agak aneh, tapi begitulah kenyataanya. Honda dan Yamaha tidak kekurangan pengetahuan teknis atau sumber daya,” tegas bos kelahiran 1964 itu.
Perkembangan MotoGP yang sangat pesat mengejutkan orang-orang Jepang yang cara berpikirnya masih konservatif. “10 atau 15 tahun yang lalu, kami bekerja secara berbeda. Sekarang ada lebih banyak alat analitis. Perangkat lunak (software) dikembangkan secara intensif dan elektronik menjadi semakin penting, begitu pula dengan aerodinamika dan perangkat/device. Ada banyak fitur dan teknologi baru. Mulanya, orang Jepang mungkin meremehkan hal-hal ini,” kata Brivio.

Dia menjelaskan, “Mereka kurang memperhatikan area-area ini. Pabrikan Eropa berhasil mendapatkan keuntungan, yang sekarang harus dikejar oleh pabrikan Jepang. Proses ini dapat dipercepat dengan merekrut orang Italia yang berpengalaman.”
Meskipun Brivio sekarang bekerja untuk tim yang mendapatkan material dari pabrikan Eropa yakni Aprilia, dia tetap memuji budaya kerja pabrikan Jepang. “Saya bekerja untuk pabrikan Jepang selama bertahun-tahun, itulah alasan mengapa saya cukup ‘terpesona’ dengan metode kerja mereka. Saya benar-benar tidak dapat membayangkan bahwa mereka kekurangan pengetahuan dan sumber daya. Mereka hanya perlu menangani berbagai hal dengan tepat dan mengorganisir diri mereka dengan lebih baik,” ungkapnya.
Dengan direkrutnya Gigi Dall’Igna, proyek MotoGP Ducati semakin sukses dari tahun ke tahun dan secara bertahap mulai mendominasi kejuaraan. “Ketika Dall’Igna datang ke Ducati, dia tidak mengganti para insinyur. Dia hanya mengatur ulang pekerjaan mereka dan dia melakukannya dengan sangat baik. Namun sejauh yang saya tahu, mereka adalah karyawan yang sama yang telah bekerja untuk Ducati di era ketika perusahaan tersebut kurang sukses,” pungkas Brivio.
Ducati adalah contoh yang menunjukkan bahwa terkadang yang dibutuhkan hanyalah penyesuaian yang tepat untuk membawa proyek menuju kesuksesan. Dengan adanya perubahan aturan untuk MotoGP 2027, pabrikan Jepang punya peluang baru untuk menemukan kembali kekuatan seperti sebelumnya.