RiderTua.com – Jorge Martin merasa bahwa dua kegagalan berturut-turut di Indonesia dan Australia membuatnya kehilangan gelar Kejuaraan Dunia MotoGP dari rekan semerek sekaligus juara bertahan Francesco Bagnaia.
Kemenangan di sprint race Mandalika membuat pembalap Pramac Ducati itu sempat merebut tahta di klasemen dari Pecco Bagnaia. Kemudian tampaknya dia akan kembali memberikan pukulan telak pada pembalap asal Turin-Italia itu ketika dia melaju bebas tanpa hambatan dan memimpin dengan superior pada balapan hari Minggu. Tapi naas, dia crash di tikungan 11 pada lap ke-14.
Ini merupakan kesalahan besar pertamanya dalam 11 seri pertama, namun seminggu kemudian dia melakukan kesalahan dalam pemilihan ban di Australia, yang menyebabkan Martin terjerembab dari posisi pertama ke posisi ke-5 pada lap terakhir. Keunggulan 7 poin Martin usai sprint Indonesia pun berubah menjadi defisit 27 poin usai GP Australia.
Jorge Martin : GP Indonesia dan Australia Bikin Gelar MotoGP-ku Hilang
Jorge Martin menjelaskan, “Kami membuat sejarah dengan apa yang kami raih di tim satelit musim ini. Saya senang dengan membukukan 13 kemenangan, semua podium dan keunggulan lap. Menurutku itu adalah pekerjaan yang luar biasa. Targetnya adalah masuk tiga besar dan kami memcapai lebih dari itu. Tapi yang pasti ketika kita sudah begitu dekat dengan gelar, kita tidak ingin kehilangannya. Tetapi menurutku kami tidak kehilangan gelar juara di Valencia. Tiba di balapan final dengan tertinggal 21 poin (usai Qatar) adalah masalah besar.”
“Menurutku, tidak hanya ada satu balapan di mana saya kehilangan gelar, tapi mungkin dua. Mungkin Indonesia dan Australia yang keseimbangannya berubah dari 7 menjadi tertinggal 27 poin. Mungkin pada saat itu terlalu cepat, membuat saya terlalu percaya diri dan saya berkata, ‘oke, saya bisa menjauh dalam 5 detik. Saya bisa menang dengan ban lain. Saya bisa melakukan apapun yang saya inginkan’.”

“Kami berada di MotoGP, kami tidak bisa melakukan itu. Kita harus selalu menggunakan peralatan (ban) yang sama dengan rival kita. Dan jika kita memenangkan balapan dengan 0,1 atau 10 detik, poinnya akan sama. Menurutku ini adalah pelajaran utama yang saya dapatkan untuk masa depan,” imbuh rider berusia 25 tahun itu.
Martin tidak menyebutkan masalah performa ban di Qatar, yang dulu dia katakan sebagai ‘menentukan kejuaraan’, mungkin kini dia menerima karena melihat bahwa Bagnaia juga mengalami masalah serupa pada beberapa kesempatan musim ini.
Namun Martin mengakui bahwa tekanan yang tidak biasa dalam perebutan gelar MotoGP sangat sulit untuk diatasi. “Menurutku di Misano, saat saya berkata ‘oke, saya yang terbaik saat ini’. Menang di Italia, di kandang mereka (tim pabrikan Ducati), sungguh luar biasa. Ini perasaan terbaik yang pernah ada,” imbuh Martinator.
“Kemudian seri berikutnya di India, saya memenangkan sprint dan finis di posisi ke-2 dengan ban yang salah (di balapan utama). Saya berkata, ‘oke, sekarang kami hanya tertinggal 14 poin’. Sudah waktunya. Lalu di Jepang saya memenangkan kedua balapan, jadi Jepang mungkin adalah titik di mana saya mengatakan ‘kita bisa memenangkan gelar dunia’.
“Kemudian tekanan datang. Saya tidak menikmati balapan mulai dari Thailand hingga Qatar. Secara mental saya sangat kesulitan. Ini adalah pertama kalinya saya merasakan tekanan seperti ini. Menurutku ketika saya menikmati balapan seperti di Valencia, saya menjadi yang tercepat. Jadi semoga musim depan saya bisa belajar dari pengalaman ini dan bisa menikmati balapan pertama,” lanjut calon rekan setim Franco Morbidelli itu.
Tidak banyak yang bisa membedakan Martin dan Bagnaia dalam hal pasang surut performanya musim ini. Bagnaia memenangkan 11 balapan gabungan dengan Martin menang 13 kali. Namun, Bagnaia meraih lebih banyak kemenangan di balapan utama (Pecco 7 , Martin 4) dan Martin unggul di sprint (9-4). Penghitungan non-skor mereka hampir sama, dengan 6 untuk Bagnaia dan 4 untuk Martin.
Namun perbedaan besar terjadi pada akhir pekan yang masing-masing mencetak kurang dari 20 dari maksimal 37 poin. Sementara Bagnaia mendapatkan kurang dari 20 poin hanya di 5 dari 20 seri, Martin berhasil sebanyak 11 kali, selama separuh musim meskipun penghitungan DNF lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa Pecco mampu mengurangi pengikisan poin akibat serangan Martin dengan lebih baik.
Kendati demikian, Martin membuat lompatan besar dari peringkat 9 secara keseluruhan di musim 2022, menjadi pembalap tim satelit pertama yang hampir memenangkan mahkota MotoGP. “Saya hanya melakukan tiga kesalahan pada balapan hari Minggu (hingga GP Valencia), jadi menurutku kami melakukan pekerjaan dengan baik. Musim depan targetnya adalah tidak melakukan kesalahan dan jika kami melakukan hal itu pasti kami akan membawa gelar juara itu,” yakinnya.
“Saya berjanji kepada tim bahwa kami akan menjadi juara dunia suatu hari nanti. Bukan tahun ini. Mungkin juga bukan tahun depan. Tapi saya merasa saya bisa melakukannya. Jadi mudah-mudahan itu akan segera terjadi,” pungkas Martin.
Martin akan tetap bersama tim Pramac Ducati dengan motor Desmosedici GP24 terbaru pada tahun 2024, tetapi fokusnya tetap tertuju pada kursi pabrikan pada tahun 2025.