RiderTua.com – Fabio Di Giannantonio memasuki musim keempatnya di MotoGP kelas para raja. Setelah bergabung dengan kelas utama bersama Gresini, kemudian kehilangan kursinya dari Marc Marquez, pembalap asal Italia itu kemudian bergabung dengan Tim VR46.
Di Giannantonio finis di urutan ke-10 di balapan utama Minggu putaran Thailand, meskipun sempat mengalami cedera pada tulang selangkanya di Sepang yang membuatnya absen dari tes pramusim di Buriram.
Fabio Di Giannantonio: Valentino Rossi Seorang ‘Guru Kehidupan’
Diggia julukan pembalap Italia tersebut, tiba di MotoGP tahun 2022 lalu, dan setelah melalui tiga musim di kelas utama, ia menggambarkan motor MotoGP saat ini sebagai ‘monster’. “Ada kecepatannya, tapi juga ada dampak yang didapatkan dari udara saat mengerem. Karena kalau mengerem sangat keras dan terlambat, dampak dengan udaranya bisa cukup gila,” jelasnya. “Siapapun tidak akan pernah terbiasa dengan motor tersebut. Terutama saat kembali mengendarainya setelah libur musim dingin, dan itu selalu mengejutkan.”
Pembalap asal Italia tersebut sudah mengendarai motor Ducati sejak ia tiba di MotoGP, dan karenanya ia menjadi bagian dari dominasi merek tersebut dalam kelas tertinggi di balap motor dalam beberapa tahun terakhir. “Saya pikir mereka sudah mengembangkan motor agar tidak menjadi yang terkuat dalam satu aspek saja, tapi paling lengkap untuk situasi dan kondisi apapun,” katanya.
“Ada momen ketika motornya lebih cepat di lintasan lurus, sementara yang lain lebih baik saat pengereman keras. Lalu momen ketika motornya mampu mengelola ban lebih baik daripada yang lain. Namun biasanya motornya menjadi yang terbaik dengan level 98 persen dalam semua aspek di grid.”
Setelah beberapa musim di MotoGP, Fabio Di Giannantonio mengaku cara pengereman berbeda dengan apa yang ia bayangkan. “Pengereman merupakan manuver khusus. Kalau mengerem secara normal, motor tidak akan berhenti sama sekali, dan motor punya caranya sendiri untuk mengerem.”

“Lalu ada sudut kemiringan yang hanya terjadi di MotoGP. Jadi pembalap harus menyesuaikan tubuh untuk belajar cara mencondongkan badan. Pembalap juga harus sangat presisi dengan gas dan ketika mengangkat motor untuk menemukan traksi. Pembalap tidak memiliki masalah ini di Moto2, tapi di MotoGP semuanya didorong hingga batas maksimal. Pembalap harus sangat presisi dengan keterampilan yang harus mencapai 100 persen,” lanjutnya.
Di Giannantonio mengaku dirinya sudah mampu dalam manajemen ban. Ia selalu begitu sejak datang ke MotoGP. Ia sudah memahami titik traksi, sehingga ia bisa mengatur pedal gas dengan baik. “Ketika saya percaya dan merasa nyaman dengan motor, saya juga bisa menjadi salah satu yang terbaik dalam pengereman. Kalau tidak, saya kehilangan sedikit kemampuan ini, dan terkadang itu menjadi titik lemah. Karena ada pembalap lain, seperti Pecco Bagnaia, yang selalu mengerem semaksimal mungkin apapun kondisinya.”
Pembalap nomor 49 tersebut juga mengaku suka menginterpretasikan data. Memang penting baginya untuk bisa memahami apa yang dilihat di komputer, kemudian menerapkannya ke lintasan. “Saya paham suatu momen dan bagian lintasan dengan sempurna, dan saya pikir itu merupakan bakat yang hebat. Karena ketika ada masalah atau area yang perlu ditingkatkan, saya segera melakukannya.”
Menjadi Bagian dari VR46
Selama dua musim terakhir, Fabio Di Giannantonio sudah menjadi bagian dari tim Valentino Rossi. Dan, seperti ‘The Doctor’, pembalap asal Italia tersebut paling bersemangat soal MotoGP dengan kemenangan. “Ketika menang, pembalap yang menang itu adalah yang terbaik di dunia dalam balapan. Setelah menikmati kemenangan di seri berikutnya pembalap harus bekerja keras lagi untuk mendapatkan kembali perasaan itu. Memang itu menjadi momen yang sangat singkat, manis, dan menegangkan.”
Namun jalan menuju kemenangan tidaklah mudah, karena ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan, seperti ban hingga manajemen bahan bakar. Tapi yang tersulit bagi Diggia yaitu ketika memiliki begitu banyak hal untuk difokuskan secara bersamaan, sehingga aspek mentalnya sangat menegangkan.
“Di penghujung hari…. pembalap lebih lelah secara mental ketimbang fisik. Secara fisik memang sulit, tapi secara mental pembalap harus memikirkan banyak hal. Jadi selalu dalam kondisi 100 persen menjadi sesuatu yang paling menuntut,” katanya.
Ia juga menyampaikan beberapa patah kata untuk Valentino Rossi, menyebutnya sebagai ‘guru yang alami’. Karena ketika seseorang menghabiskan waktu bersamanya, ia mengajarkan banyak hal dengan cara yang normal, bahkan tentang kehidupan.
“Ia sudah mengajarkanku beberapa hal tahun lalu, yaitu soal motor, cara mengendarainya, dan strategi. Kalau ia lebih sering datang tahun ini, saya akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk belajar. Jadi saya akan senang kalau ia selalu bersama kita, dan itu akan menjadi dorongan dan motivasi ekstra yang hebat bagi semua orang.”