Home MotoGP Fabio Di Giannantonio : Waktu Kecil Saya Sempat Takut dengan Motor

    Fabio Di Giannantonio : Waktu Kecil Saya Sempat Takut dengan Motor

    Fabio di Giannantonio - Marc Marquez
    Fabio di Giannantonio - Marc Marquez

    RiderTua.com – Meski hanya berada di peringkat 7 Kejuaraan Dunia Moto2, Fabio Di Giannantonio naik ke MotoGP pada 2022. Dia menjadi rekan setim Enea Bastianini di tim Gresini Ducati. Secara tak terduga, rookie asal Italia itu meraih pole position di Mugello tapi dia hanya sekali masuk 10 besar yakni ketika finis ke-8 di Sachsenring.

    Dengan 24 poin yang diraihnya berkat 6 kali finis 15 besar dalam 20 seri, Diggia menyelesaikan debutnya di peringkat 20 dalam klasemen. Ini menjadikannya yang terburuk dari 8 pembalap Ducati. Meski demikian, debutnya menjadi sorotan karena terbilang ‘berani’ dalam mengutarakan pendapatnya.

    Fabio Di Giannantonio : Waktu Kecil Saya Sempat Takut dengan Motor

    Di akun Instagram Fabio Di Giannantonio terpampang fotonya sewaktu dia masih kecil bersama sang ayah di atas motor Ducati. “Kami berada di Vallelunga dekat Roma, dan itu adalah motor ayahku. Hingga sekarang dia masih memilikinya dan kami sedang memulihkannya. Itu adalah 748R. Ayahku adalah seorang pembalap motor amatir. Dan jujur, pada saat itu kecintaan saya terhadap motor sempat terhenti ketika suatu hari ayahku sedang memuat motor ke trailer sambil menggendong saya di lengannya,” ungkap Diggia.

    Bukan bagian dari konten editorial.
    Fabio di Giannantonio
    Fabio di Giannantonio

    Rider berusia 25 tahun itu melanjutkan, “Namun motornya terbalik dan untuk mencegahnya terjatuh, dia memutar throttle dan menaikkan kecepatan motornya hingga mencapai limit pembatas. Mulai saat itu saya takut dengan motor. Dan tidak pernah ingin berada di dekat motor lagi. Saat itu saya berumur 4 atau 5 tahun. Namun selangkah demi selangkah ayahku mulai merangsang kecintaanku pada motor lagi dan saya mulai mengendarai pocket bike. Sejak itu saya tidak pernah berhenti. Senang rasanya memiliki Ducati itu di garasi, sementara saya mengendarai Desmosedici di MotoGP. Ini seperti telah mencapai lingkaran penuh.”

    Pada 2018, Diggia berada di peringkat 2 di belakang Jorge Martin di Moto3 sebelum pindah ke Moto2. Dia memenangkan satu balapan dan naik podium sebanyak 8 kali. Sepertinya dia belum mencapai potensi maksimalmya di Moto2. “Jujur, saya setuju. Moto2 adalah kejuaraan yang sangat sulit. Semua motor hampir sama kuatnya. Saya pernah berada di tim-tim hebat, tapi kami tidak pernah berhasil menyatukan semuanya dalam satu musim. Itulah yang hilang,” ujar rider yang saat ini memperkuat tim VR46 MotoGP milik Valentino Rossi itu.

    Diggia menambahkan, “Saya melakukan pekerjaan dengan baik, namun tidak terlalu bagus. Selain itu, saya dua kali mengganti kepala kru dalam 3 tahun dan dalam 4 atau 5 tahun terakhir saya tidak pernah menemukan kesinambungan dalam sebuah tim. Itu membuatnya sulit. Di tahun ketiga saya, saya memiliki Kalex dan itu seharusnya menjadi motor terbaik. Tapi di tim baru dengan motor yang belum dikenal, itu sulit.”

    Bukan bagian dari konten editorial.

    Hal ini tentu mengejutkan, mengingat seseorang yang hanya berada di peringkat 7 di kejuaraan dunia diizinkan membalap di MotoGP. “Selalu sulit bagi orang-orang untuk memahami situasi di sini. Mereka hanya melihat balap di TV dan tidak tahu apa yang terjadi di balik layar. Kebanyakan orang tidak tahu, bagaimana kita mempersiapkan diri untuk balapan dan berapa jam yang kita habiskan bekerja dengan tim. Sejujurnya, saya tidak terlalu serius menanggapi komentar ini. Tentu saja, bagi saya orang-orang yang mendukung kami penting karena mereka mendorong kami sebagai pembalap dan tim. Saya suka membuktikan bahwa orang salah,” ungkap rekan setim Marco Bezzecchi itu.

    Bahkan di tahun pertamanya di MotoGP, Diggia tidak takut untuk mengungkapkan pendapatnya. Dia sangat kritis terhadap cara pengenalan sprint race dikomunikasikan. “Saya berusaha untuk selalu menjadi diriku sendiri. Sebagai pembalap MotoGP, di depan kamera kita punya kekuatan. Saya rasa kita juga punya kekuatan untuk menginspirasi anak-anak muda. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah untuk selalu menjadi diri sendiri. Tentu saja saya memiliki hal-hal baik dan buruk, tidak ada orang yang sempurna. Saya hanya memberikan pendapat saya tentang hal-hal yang terjadi,” jelas rider asal Roma Italia itu.

    Apakah menurut Diggia, terkadang pembalap harus berhati-hati dalam menyampaikan pendapatnya?
    “Katakanlah semakin banyak kejuaraan yang berkembang, maka semakin benar secara politis. Itu bagus karena pada akhirnya kami mewakili banyak merek dan bagusnya tidak memiliki terlalu banyak sisi. Tapi seperti yang saya katakan, terkadang kita harus menjadi diri sendiri. Sangat menyenangkan melihat orang-orang terkadang sedikit berbeda atau berpendapat secara ‘real’. Dulu pembalap tidak terlalu memperhatikan perkataannya, mereka lebih bebas. Itu luar biasa. Saya yakin itu sebabnya banyak orang menyukai olahraga ini. Jadi terkadang ada baiknya untuk bersikap lebih alami,” ujar #FG49.

    Akankah adanya persatuan pembalap menjadi hal yang baik di MotoGP? “Itu tidak buruk untuk olahraga ini. Memiliki sekelompok pembalap sebagai kesatuan yang dapat membantu, juga bisa berdampak baik untuk olahraga ini. Semua orang ingin bersaing dan bertarung satu sama lain. Kami hanya ingin berbagi ide dengan pihak penyelenggara untuk bersama-sama meningkatkan olahraga ini. Menurutku ini bisa menjadi kolaborasi yang luar biasa dengan Dorna,” pungkas Fabio Di Giannantonio.

    © ridertua.com

    Iklan pihak ketiga – bukan bagian dari konten editorial.

    TINGGALKAN BALASAN

    Silakan masukkan komentar Anda!
    Silakan masukkan nama Anda di sini